Posted by : Sagala Aya Saturday, October 18, 2014

Kesempatan Kedua
Naruto © Masashi Kishimoto
Genre: Romance/Fantasy
Rate: T
Summary: Apa yang akan kau lakukan jika Tuhan memberimu kesempatan kedua dan mengembalikanmu ke masa lalu?
Warning: AR: seiring berjalannya cerita, mungkin akan ada beberapa kejadian yang berbeda dari yang pernah dialami Naruto sebelumnya (beda dari Anime/Manga), meskipun kebanyakan akan sama. Jadi disini Naruto tidak persis mengulang masa lalunya, tapi lebih ke 'membuat alur kehidupan baru'. AT: Time travel. Efek dari kembali ke masa lalu membuat jurus-jurus yang dikuasai Naruto menghilang, jadi dia harus mempelajari jurus-jurus itu dari awal (jadi jangan harap Naruto bisa pamer Rasengan ke teman-teman masa kecilnya :p). Sedikit OOC, typo, bahasanya kadang baku kadang nggak.

Cerita Sebelumnya:
"HINATA-CHAN… HINATA-CHAAAANNN!" Aku membuka mataku dan mendapati cahaya matahari masuk ke jendela kamarku. Huh? Aku dimana? Ini apartemen ku. Kenapa aku disini? Hinata-chan.. Dimana Hinata-chan? Oh, bayangan Hinata-chan masih teringat jelas di otakku. Kesedihan kembali menghampiriku. Aku mungkin telah melewatkan upacara pemakamannya. Aku harus mengunjungi makamnya sekarang juga. Aku berusaha bangun dari kasur. Ukh, tapi rasa sakit di kepalaku belum juga hilang. Dengan samar-samar aku melihat diriku di cermin. Tunggu! Ada yang aneh…
Oh tidak, kenapa tubuhku kecil? Ini.. Ini tubuhku saat…
Aku berlari menuju kalender di samping tempat tidurku...
Dan tanggal yang ditampilkan kalender itu membuat jantungku ingin loncat dari tempatnya. Ini tidak mungkin... Hari ini... Tanggal ini... Aku kembali ke 4 tahun yang lalu...
.
.
.
Chapter 2
-Bertemu Hinata Lagi-
Normal POV
Naruto terdiam melihat wajahnya di cermin. Ditatapnya bocah pirang di depannya dengan seksama. Berulang kali dia menggosok matanya pun, sosok yang berdiri di didepannya tetaplah seorang bocah berusia 12 tahun. Lengkap dengan garis mukanya yang membulat menandakan fisik seorang anak kecil.
Kalau dipikir memang tidak masuk akal. Sesaat yang lalu dia tengah bertarung dengan Pain dan tiba-tiba sekarang malah berada di apartemennya. Dan yang membuatnya semakin tidak masuk akal, dia kembali ke 4 tahun yang lalu! Sepintas memang merupakan hal yang mustahil terjadi. Tapi kenyataannya ini memang terjadi pada Naruto.
Naruto mencoba mencubit-cubit pipinya berharap semua itu hanya mimpi.
"Ouw, ini bukan mimpi," katanya memegang pipinya yang memerah.
Rasa sakit di pipinya membuktikan kalau ini bukan mimpi. Lantas apa yang terjadi? Apa mungkin 4 tahun yang telah Naruto laluilah yang merupakan mimpi? Jadi sebenarnya Naruto memang masih berumur 12 tahun dan hanya bermimpi panjang mengenai kehidupannya? Kalau memang benar, kenapa semuanya terasa begitu nyata? Urutan peristiwa, orang-orangnya, rasa sakitnya, semuanya terasa begitu nyata. Naruto mengacak rambut pirangnya semakin bingung memikirkan semua pertanyaan itu.
"Arrghhhhh, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Naruto entah kepada siapa.
Otaknya yang tidak biasa diajak berpikir keras sudah menyerah, seolah mengibarkan bendera putih. Ini terlalu rumit untuk dipikirkan seorang Naruto. Naruto butuh seseorang yang bisa menolongnya. Ia butuh penjelasan yang masuk akal dan bisa dipercaya. Dan, orang pertama yang ada dipikirannya saat itu adalah: Hokage.
.
"Tunggu Naruto, mau kemana kau?" Langkah Naruto memasuki ruang Hokage terhenti saat dua penjaga menghentikannya.
"Aku mau menemui Tsunade Obaa-chan," kata Naruto sekenanya, ia tidak punya waktu meladeni kedua penjaga itu. Ia harus bertemu Hokage sesegera mungkin.
Kedua penjaga itu saling pandang kemudian mundur beberapa langkah dan saling berbisik. Naruto mulai kesal karena diacuhkan. Tapi samar-samar dia bisa mendengar apa yang dibicarakan kedua penjaga itu.
"Apa mungkin yang dimaksud Naruto itu Tsunade sang Legenda Sannin?"
"Jangan bercanda! Mana mungkin Naruto tahu mengenai Tsunade-sama?"
"Tapi tidak ada lagi nama Tsunade di desa ini."
"Hmm, ya kau benar juga."
"Ehem." Salah satu dari penjaga itu berdehem dan mendekati Naruto. "Dari mana kau tahu mengenai Tsunade-sama?"
"Aku mengenalnya, kami sering bertemu."
"Jangan bercanda! Sekarang dia tidak ada di desa ini," kata penjaga yang lainnya.
"Mana mungkin seorang Hokage tidak ada di desanya sendiri!"
"Eh? Apa yang kau maksud Hokage itu Hokage Ketiga?" Perkataan penjaga itu mengingatkan Naruto kalau saat ini jabatan Hokage masih dipegang Sarutobi Ojii-san. Senyum terkembang di bibirnya, berarti dia bisa bertemu kembali dengan sosok orang tua yang sudah dianggapnya seperti kakek sendiri itu.
"Oh, iya maksudku Hokage Ketiga. Ada hal penting yang ingin aku sampaikan."
"Mengenai apa? Apakah sangat penting?"
"Mengenai desa ini. Ini sangat penting. Saking pentingnya, Hokage akan menghukum kalian karena mengulur-ulur waktuku padahal aku harus segera menyampaikan hal penting ini kepada Hokage."
Ekspresi kedua penjaga itu berubah pucat. "Baiklah, cepat masuk."
.
.
"Jadi begitu ceritanya..." kata Hokage Ketiga menghela nafas. Tapi dari raut mukanya, dia sama sekali tidak terlalu menganggap serius perkataan Naruto. "Daya imajinasimu besar juga Naruto, haha."
"Hey! Aku tidak bercanda!" bentak Naruto berapi-api.
"Sudah, sudah. Dengar Naruto, tidak mungkin aku mempercayai anak berumur 12 tahun. Sudah pasti itu hanya mimpimu. Sekarang lebih baik kau pulang, ada banyak pekerjaan yang harus kuurus disini. Mungkin kau butuh istirahat agar pikiranmu jernih."
"Tapi.. tapi.." Sepertinya tidak ada gunanya Naruto bercerita kepada Hokage. Biar bagaimana pun Hokage ada benarnya. Mana mungkin seorang anak berusia 12 tahun bisa begitu saja dipercaya? Apalagi ini menyangkut masalah desa, yang bila seenaknya saja dipercaya malah akan menimbulkan kepanikan para penduduk desa.
Untuk sekarang ini, menyembunyikan masalah ini adalah pilihan terbaik. Dia akan mencari kebenaran dan juga buktinya dulu, baru kemudian mendatangi Hokage lagi.

Setelah keluar dari gedung Hokage, Naruto menyempatkan diri untuk berkeliling Konoha. Berjalan santai dan menikmati suasana desa ditemani semilir angin di siang hari yang sudah mulai beranjak sore itu. Hal yang sederhana memang. Tapi itu sangat berarti bagi Naruto. Karena beberapa jam lalu dia masih ingat betul kalau Konoha sudah hancur dan semua bangunannya nyaris rata dengan tanah. Penduduk dilanda kepanikan dan banyak korban berjatuhan.
Tapi lihat sekarang. Konoha dalam keadaan aman dan tentram. Rumah-rumah penduduk berjejer rapi, pepohonan tumbuh rindang di beberapa sudut desa, penduduk sibuk melakunan kegiatannya masing-masing dengan ceria, anak-anak berlarian di jalanan desa dengan penuh canda. Naruto tersenyum mensyukuri desa kelahirannya telah kembali seperti semula. Itu membuat Naruto semakin ingin melindungi Konoha.
"Oy Naruto!" teriak seseorang. Merasa namanya dipanggil, Naruto menoleh ke arah suara. Dia melihat anak bertato merah di kedua pipinya. Dialah Kiba, Naruto jadi terseyum sendiri melihat Kiba kecil di hadapannya. Padahal sebenarnya dirinya sendiri juga kecil. "Kenapa tadi bolos? Akademi sepi kalau kau ga ada."
"Oh, iya a-aku kesiangan," jawab Naruto menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Hanya itu alasan yang saat itu terpikirkan oleh Naruto. Untuk saat ini dia harus menyembunyikan masalahnya, menunggu saat yang tepat dan mencari bukti yang kuat dulu.
"Dasar kau pemalas."
"Haha. Ngomong-ngomong kalau kemarin aku masuk 'kan?" tanya Naruto.
"Huh? Masuk lah! Kenapa kau tanya gitu? Jelas-jelas kemarin kita sama-sama dihukum Iruka-sensei gara-gara bikin keributan di kelas. Kepalamu terbentur ya sampai lupa gitu?"
Mendengar itu membuat Naruto mengingat kembali kenakalannya ketika di Akademi. Kalau dipikir sekarang, ia merasa banyak dosa kepada Iruka-sensei.
"Hei baka! Kenapa malah melamun? Jangan-jangan kepalamu benar-benar terbentur sampai kau jadi aneh begini."
"Um, sepertinya begitu. Ahaha." Naruto tertawa garing.
"Hah? Ah sudahlah, aku pergi dulu. Besok jangan bolos lagi!" Kiba mulai beranjak meninggalkan Naruto.
"Hei Kiba, tunggu! Tunggu!" kata Naruto menarik bahu Kiba.
"Apa lagi?" Kiba terlihat kesal.
"Aku mau tanya, apa saat Akamaru besar nanti, 3-4 tahun lagi, besarnya akan melebihimu sampai kau bisa menungganginya?"
"Eh? Dari mana kau tau?" tanya Kiba sambil menusap pelan kepala Akamaru. Kali ini rasa kesalnya berubah jadi rasa penasaran.
"A-aku hanya menebak! Lupakan saja!" elak Naruto. Bisa bahaya kalau Kiba tahu rahasianya.
"Dasar aneh!"
Perkataan Kiba tadi seolah menguatkan pendapat kalau masa 4 tahun yang telah dilalui Naruto bukanlah mimpi. Tapi Naruto tidak mau terlalu cepat mengambil kesimpulan, dia harus mencari bukti lain yang bisa membuktikan kalau hal-hal yang dialaminya 4 tahun terakhir ini benar-benar nyata, bukan mimpi.
Naruto kembali berjalan menyusuri desa, kali ini sambil memutar otak mencari cara membuktikan pendapatnya. Tebakan Naruto tentang Akamaru yang akan tumbuh besar masih belum merupakan bukti yang kuat.
'Pikir Naruto! Pikir!' batinnya.
Naruto pergi ke padang rumput yang agak jauh dari pemukiman penduduk untuk mencari ketenangan. Siapa tahu itu bisa membantunya menemukan ide. Dibaringkannya tubuhnya disana, dia memandang langit dan mencurahkan kembali semua kemampuan otaknya untuk mencari ide. Ujung-ujungnya memang dia harus berpikir sendiri, tanpa meminta bantuan orang lain untuk mencari jalan keluar masalah ini. Setelah beberapa saat berpikir, Naruto menjentikkan jarinya menemukan sebuah ide.
'Kenapa aku tidak bertanya kepada Kyuubi saja?' pikirnya.
Naruto berpikir kalau benar dirinya dari masa depan, seharusnya Kyuubi juga berasal dari masa depan karena Kyuubi ada di dalam badannya. Kalaupun Kyuubi bukan dari masa depan, dia sudah hidup ratusan tahun, siapa tahu dia tahu sesuatu tentang fenomena aneh ini. Naruto belum yakin, tapi itu salah satu cara yang bisa dicobanya.
Naruto kemudian duduk dan memfokuskan pikirannya, berkonsentrasi untuk memasuki alam bawah sadarnya untuk bertemu Kyuubi.
.
.
"Hei, Kyuubi!" bentak Naruto setelah berada di depan jeruji besi tempat Kyuubi terkurung.
"GRRRRRHHH!"
"Hei! Tenanglah, aku kesini cuma ingin ber-" Perkataan Naruto terpotong.
"Diam! Aku sudah tau apa yang kau pikirkan!" Kali ini giliran Kyuubi yang membentak Naruto. Tapi Naruto tidak gentar mendengarnya, sudah terbiasa.
"Benarkah?"
"Tentu saja baka! Aku diam di badanmu jadi aku tahu apa yang kau pikirkan. Dan biar kujawab langsung. Ya, kita dari masa depan. Dan aku masih kesal gara-gara Minato datang menyelamatkanmu, padahal selangkah lagi aku bisa bebas!"
"A-apa? Jadi benar kita dari masa depan? Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Naruto bertubi-tubi.
"Aku juga tidak tau. Sesaat setelah kau mengalahkan Pain, pandanganku jadi gelap dan saat terbangun kembali aku sudah berada di tubuh kecilmu ini."
"Oh begitu. Kalau begitu kau juga baka! Harusnya kau bersyukur karena jadi punya kesempatan lagi untuk keluar dari tubuhku." Naruto tersenyum meremehkan.
"Hmm, benar juga."
"Tapi jangan remehkan aku kali ini. Aku menantangmu, saat nanti aku melawan Pain lagi, aku tidak akan membiarkanmu menguasai diriku seperti sebelumnya."
"GRRRHHH! Aku terima tantanganmu!"
.
.
Sekarang jelaslah sudah kalau ternyata Naruto memang berasal dari masa depan dan hal yang dialaminya 4 tahun terakhir bukanlah mimpi. Dibaringkannya kembali tubuhnya di hamparan rumput hijau disana. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Meskipun dia sudah mendapat bukti kalau benar dia dari masa depan, tapi bercerita kepada orang lain tampaknya bukan ide bagus. Kalau dia mengaku diberitahu oleh Kyuubi, mana ada yang percaya. Kecuali kalau memang Naruto mempunyai bukti yang nyata dan bisa dilihat orang-orang.
'Hmm, kembali ke masa lalu ya? Benar-benar tidak bisa dipercaya...' batinnya.
Di tengah kesibukannya berpikir, ada hal yang menyadarkan Naruto. Dia tersentak dan raut mukanya berubah ceria.
"Kalau aku kembali ke 4 tahun lalu, berarti Hinata masih hidup dong?" katanya bertanya kepada diri sendiri.
Seketika itu juga dia berlari kembali ke desa. Hatinya senang bukan main. Bagaimana tidak? Beberapa jam lalu dia memohon agar Tuhan memberinya kesempatan lagi untuk mengahabiskan waktu bersama Hinata. Dan sekarang Tuhan mengabulkannya. Sekarang dia mulai mengerti alasan dia kembali ke masa lalu. Pasti ini adalah jawaban Tuhan atas doanya: memutar kembali waktu, dan memulai dari awal.
Naruto menelusuri tiap sudut desa Konoha mencari Hinata. Dia mengingat-ngingat tempat yang biasa dikunjungi Hinata. Tapi sayang, dia tidak terlalu hapal kemana saja Hinata biasa pergi. Yang dia tahu, Hinata selalu diam-diam melihatnya dari kejauhan.
Tiba-tiba Naruto mendengar bunyi tong sampah yang jatuh. Kemudian dia menoleh ke belakang.
Naruto menyadari ada seseorang yang bersembunyi di balik tembok. Kemudian dia melihat bayangan orang itu di tanah akibat terkena sorotan matahari sore. Naruto tersenyum, ia tahu betul siapa orang yang bersembunyi disana. Dia adalah Hinata. Kenapa tadi dia harus repot-repot mencari Hinata? Hinata 'kan memang suka memperhatikan Naruto seperti yang (lagi-lagi) dilakukan Hinata kali ini. Ya, Naruto baru ingat itu. Itu memang kebiasaan yang sering dilakukan Hinata. Hinata akan memperhatikannya dari jauh, dan akan bersembunyi saat Naruto menoleh ke arahnya. Kalau ketahuan, biasanya Hinata hanya akan memainkan jari-jarinya dan mencari alasan untuk mengelak dari tuduhan menguntit Naruto.
Dari bayangan itu samar-samar Naruto bisa melihat kalau Hinata sedang memainkan jari-jarinya karena malu. Muncul ide jahil di kepala Naruto.
'Kalau tidak salah, beberapa bulan lagi aku bisa menguasai Kage Bunshin. Tapi sekarang aku sudah tahu cara-caranya. Apa kalau dipraktekkan sekarang bisa berhasil ya? Semoga berhasil.' pikirnya. Dan ternyata berhasil, saat dia mempraktekkan jurus itu, muncullah 1 bunshin didekatnya tanpa diketahui Hinata.
"Kau buat Hinata mengikutimu, aku akan berjalan memutar ke arah sana dan mengagetkan Hinata," kata Naruto kepada bunshinnya. Sang bunshin nyengir lebar dan mengangguk setuju.
"Ahhh, bosaaaan. Sebaiknya aku pergi ke taman," kata bunshin Naruto, memastikan kalau suaranya bisa didengar Hinata. Hinata yang mendengar itu menghela nafa lega, berpikir kalau kesalahannya menjatuhkan tong sampah barusan tidak membuatnya ketahuan. Kemudian dia berjalan mengikuti bunshin Naruto, kelihatannya dia belum puas memperhatikan Naruto.
Tanpa disadari Hinata, Naruto yang asli berada tidak jauh di belakangnya. Naruto merasakan detak jantungnya yang mulai memburu. Dia tidak bisa menyembunyikan kegembiraan yang bercampur dengan rasa gugupnya untuk kembali bertemu dengan Hinata. Terlebih lagi sekarang dia tahu kalau Hinata begitu tulus menyayanginya.
Memperhatikan gerak-gerik Hinata membuat Naruto tersenyum, menyadari betapa lucunya wajah Hinata yang bersemu merah itu. Apalagi mukanya saat bersembunyi dan panik karena takut ketahuan. Naruto melangkahkan kakinya semakin mendekati Hinata, dibuangnya rasa gugup di hatinya jauh-jauh. Ia ingin melihat wajah Hinata lebih dekat lagi.
Saat melihat Hinata, ada rasa bahagia pada diri Naruto yang tidak bisa digambarkan atau dijelaskan dengan kata-kata. Rasa kehilangan yang mendalam seolah terhapus begitu saja saat Naruto bisa kembali melihat Hinata berada di depannya, dalam keadaan baik-baik saja. Lubang besar di hati Naruto perlahan mulai terobati kembali.
Merasa sudah cukup 'menjahili' Hinata, Naruto berjalan keluar dari persembunyiannya, mengendap-ngendap mendekati Hinata. Hinata yang saking fokusnya memperhatikan Naruto (bunshin Naruto), tidak sadar kalau Naruto yang asli sudah berada tepat di belakangnya.
Naruto menghilangkan bunshin miliknya dan itu sukses membuat Hinata kaget. Bagaimana tidak? Orang yang dari tadi diperhatikannya malah menghilang tiba-tiba digantikan kepulan asap tipis.
"Kamu mencari siapa Hinata-chan?" tanya Naruto dengan cengiran lebar.
Hinata berbalik, menyadari suara familiar di belakangnya. Jarak yang dekat dan keberadaan Naruto yang tiba-tiba membuat pipi Hinata merona hebat.
"Na-Naruto-kun?" tanya Hinata terbata-bata, semakin kaget menyadari Naruto berada terlalu dekat dengannya. Naruto berada dalam radius yang masuk kategori 'waspada' bagi Hinata.
Uh, hati Naruto bagai meleleh bisa mendengar kembali suara Hinata. Meskipun suara yang didengarnya adalah suara Hinata kecil, suara khas seorang gadis yang masih dalam tahap menuju masa remaja, tapi entah kenapa itu terdengar lucu dan imut bagi Naruto.
"Hei. Aku disini. Hehe," kata Naruto tak lupa memasang cengiran khasnya.
"Ta-tapi tadi..." Hinata kembali terbata-bata, kemudian menunduk menyembunyikan pipinya yang semakin merona. Untuk menghilangkan kegugupan, Hinata memainkan kedua jari telunjuknya.
'Kebiasaan Hinata yang tak pernah lepas,' pikir Naruto. Itu malah membuatnya tambah gemas.
"Hehe, kamu lucu sekali." Naruto semakin mendekatkan jaraknya dengan Hinata. Entah karena perasaan rindu atau perasaan saking senangnya bisa kembali melihat Hinata, Naruto refleks memeluk gadis pemalu di depannya. Membawa Hinata dalam dekapan yang hangat. Diusapnya pelan rambut indigo pendek milik Hinata. "Aku senang bisa melihatmu lagi..."
Dan tentu saja perbuatan Naruto itu salah besar mengingat Hinata yang tidak biasa dekat-dekat dengan Naruto. Wajah Hinata semakin memanas dan memerah sudah seperti kepiting rebus yang sudah direbus dan direbus lagi. Jantungnya memompa dengan tidak karuan. Dan nampaknya tubuh mungil itu sudah tidak mampu menangani sensasi yang ditimbulkan pelukan Naruto yang tiba-tiba itu. Pandangannya mengabur, dan sedetik kemudian kesadarannya menghilang.
"Eh? Hinata-chan? Kamu kenapa Hinata-chan?" Naruto panik menyadari perbuatannya barusan telah membuat Hinata pingsan.
"Hinata-chan? Aduh jangan pingsan dong. Aahhh, aku harus bagaimana? Oh ya minta tolong Sakura-chan. Eh? Sakura-chan 'kan sekarang belum jadi ninja medis... Arghhh..." Naruto malah jadi panik sendiri. Siapa suruh memeluk Hinata tiba-tiba, sudah tahu Hinata itu gampang pingsan kalau di dekatnya.
Merasa tidak ada pilihan lain, Naruto membawa Hinata ke apartemennya.
Digendongnya Hinata ala bridal style.
'Maaf Hinata-chan, aku tidak punya pilihan lain...'

Naruto menghela nafas panjang saat sampai di apartemennya. Dia menyadari betapa kamarnya sangat-berantakan-sekali.
Dia baru sadar kalau dirinya saat berumur 12 tahun begitu cuek dan sama sekali tidak memperhatikan kebersihan dan kerapian kamar (saat berumur 16 tahun juga cuek, tapi tidak separah ini). Baju kotor bergelimpangan di berbagai tempat, bungkus ramen sisa kemarin bertumpuk di atas meja, kasur sudah tidak berbentuk, entah bantal guling dan selimutnya kemana, belum lagi debu yang menempel dimana-mana.
'Hmmm... apa boleh buat. Kage Bunshin no Jutsu!'
Tak lama kemudian muncul 5 bunshin Naruto di kamar itu.
"Kalian semua! Bersihkan kamar ini dalam waktu 3 menit! Laksanakan!" perintah Naruto kepada kelima bunshinnya.
"HAI!" jawab kelima bunshin itu serempak.
Setelah keadaan kamar 'layak' untuk ditinggali, Naruto membaringkan Hinata di tempat tidurnya. Kemudian ia mengkompres kening Hinata dengan handuk yang sudah dibasahi air hangat.
'Semoga dengan ini bisa membuat Hinata cepat siuman,' pikir Naruto.
Kemudian dia duduk di tepi tempat tidurnya. Diperhatikannya sosok gadis yang tertidur di depannya. Kalau diperhatikan sedekat ini Naruto baru sadar kalau wajah Hinata memang manis meskipun di umurnya yang masih 12 tahun ini. Kulitnya putih bersih nyaris tanpa noda sedikitpun. Jauh sekali jika dibandingkan dengan kulit Naruto yang berwarna tan. Di rapikannya poni Hinata yang sedikit berantakan menutupi kelopak matanya.
Tapi terlalu lama memperhatikan Hinata malah membuat otak Naruto memunculkan keinginan melakukan sesuatu. Sesuatu yang sebenarnya tidak boleh dilakukan kepada seseorang yang sedang tidak sadarkan diri. Naruto berusaha sekuat tenaga menahan keinginannya itu. Tapi semakin keras dia menahannya, keinginan itu malah semakin kuat.
Naruto mendekatkan wajahnya ke wajah Hinata yang sedang terlelap. Kedua tangan Naruto berada di samping kiri dan kanan kepala Hinata untuk menumpu berat tubuhnya. Naruto memandang kembali wajah Hinata. Wajah Hinata yang manis itu seolah semakin mendorong Naruto untuk melanjutkan rencananya.
'Gomen, Hinata-chan...'
Naruto semakin memperkecil jarak antara wajahnya dengan wajah Hinata.
Dikecupnya pipi mulus Hinata.
Pipi kanan Hinata yang mulus itu ternyata terasa begitu lembut di bibir Naruto. Beberapa detik Naruto menahan posisinya, menikmati sensasi yang ditimbulkan. Jantungnya berdetak melebihi kecepatan normal, tapi meski begitu ada rasa bahagia di hatinya.
Setelah Naruto melepas ciumannya di pipi Hinata, ada sedikit rasa penyesalan di diri Naruto. Mungkin karena dirinya sadar sudah memanfaat kesempatan seperti ini untuk melakukan hal yang tidak sopan kepada Hinata.
'Aaaahhh! Apa yang sudah kulakukan? Melakukan hal seperti itu kepada seseorang yang tidak sadarkan diri. Apalagi orang itu adalah Hinata. Aku memang tidak sopan. Gomen Hinata-chan. Tapi itu salahmu juga, kenapa wajahmu begitu manis dan membuatku ingin menciumya?' batin Naruto.
Pandangannya beralih ke bibir mungil Hinata, bibir yang berwarna pink dan kelihatan lembab.
'Pasti akan terasa lebih lembut dibanding pipi Hinata...' pikir Naruto. Detak jantung Naruto kembali bereaksi dan berakselerasi makin kencang. Didekatkannya kembali wajah Naruto ke wajah Hinata. Nafasnya semakin memburu.
Namun tiba-tiba hati kecilnya berteriak. 'Apa yang kau lakukan baka?'
Naruto kemudian tersentak dan kembali ke posisinya semula.
'Ah, tidak-tidak! Aku tidak boleh egois! Kalau untuk ciuman di bibir, aku ingin Hinata menikmatinya juga!' batin Naruto. Naruto kemudian mengacak-acak rambut pirangnya frustasi. Kemudian digeleng-gelengkannya kepalanya mencoba menjauhkan pikiran-pikiran sesat di otaknya. Setelah pikiran-pikiran itu hilang, Naruto mulai tenang dan bisa mengendalikan dirinya.
"Aku akan menunggu..." Naruto memandang Hinata yang sedang terlelap di depannya dengan senyuman terbaiknya. "Aku yakin suatu hari nanti... Kamu pasti akan memberikan ciuman pertamamu untukku Hinata-chan."
Digenggamnya pelan tangan Hinata. "Sekarang cepatlah sadar, aku merindukanmu..."

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Welcome to My Blog

Chat

SEKARANG JAM

HARI INI

Arsip Blog

Popular Post

jika ingin lebih dekat sama ridwan

Kyuubi - Naruto

Followers

- Copyright © 2013 SAGALA AYA -Dark Amaterasu Template -